More Pisang Please ...

≈ MaKlumat ≈

Terhitung Mulai Tanggal 9 Juni 2009, Kelima blog (beserta seluruh Kontennya) atas nama Mbah MD sudah dilimpahKan Kepada CiPung aKa PungguK KooKKaburra.

Sebagai pewaris tahta Kerajaan KooKKaburra Bisnis Inc. THUS pemiliK tunggal (pemegang 100% saham) PungguK KooKKaburra (selanjutnya disebut "Owner"), memiliKi tanggung jawab dan Kewenangan sepenuhnya terhadap blog-blog tersebut.

MaKlumat ini dapat diubah dalam waKtu seKonyong-Konyong tanpa pemberitahuan sebelum dan sesudahnya.

ttd.

Owner
≈ PungguK KooKKaburra ≈

Sunday 3 February 2008

Kookkaburra Abroad: Kamso aka Culture Shock

(Kookkaburra - Inggris)

Hi Zev dan para pecandu KoKi yang sedang membaca di depan computer/PDA … Kali ini tulisan Kookkaburra sebagian besar berkisah tentang jadoel (Jaman Doeloe). Maaf ya … Zev, ngetiknya pake “J” bukan “Z” (zadoel). Nah karena di KoKi sedang musim disclaimer, maka Kookkaburra mau ikutan membebek. (Mau dibilang pamer yah … Kookkaburra pasrah saja.)

Sebelumnya Kookkaburra mohon maaf kalau pembaca kurang sreg dengan judul tersebut di atas. Sesuai judulnya, cerita dibawah ini dituturkan berdasarkan pengalaman pribadi dan dari sudut pandang seorang Kookkaburra muda (sekarang sudah sepuh) waktu pertama kali ke LN – jadi masih kamso alias kampungan sokuali. (Nanti kalau pake kata “Ndeso” ada yang sensitif – emang beda?) Berhubung Kookkaburra takut ngetop (hehehe – asal nggak merugikan orang lain, boleh kan sombong?) nama orang/tempat/jalan dan tahun sengaja disamarkan/diganti, ‘to protect the dignity and privacy of myself and others.’ (Mana tahu Kookkaburra ada hubungan dengan Osama bin Barack oops maksudnya Osama bin Laden atau Barack Obama, hahaha – just kidding!) Tulisan ini BELUM pernah diterbitkan dimanapun. Kookkaburra nggak punya blog. Lumayan … ada KoKi … jadi bisa nebeng nge-blog, hehehe. Kalaupun ada di antara para KoKier yang (merasa) pernah mendengar cerita di bawah ini, mungkin hanya suatu kebetulan belaka. Kalau bisa jangan tanya apakah Kookkaburra dulu pernah tinggal di Gg. Kelinci atau jadi murid di kursus/sekolah anu, wokeh? (Dah kepanjangan nih basa-basi-nya, silahkan scroll up/down/sideways.)

Kookkaburra Muda (USA, 1990an)
Cerita dimulai pada saat Kookkabura muda berangkat dari kota seribu vihara menuju ibukota untuk selanjutnya ke terbang ke negaranya Oom Joe eh Oom Sam (emang beda?). Semua dokumen (surat dari sponsor, passport dan tiket untuk keberangkatan ke Cambridge – MA dua hari berikutnya) sudah lengkap, kecuali visa Amrik, visa student, BUKAN visa diplomat. Tapi dengan ‘jalan pintas’ visa kelar satu hari dan Kookkaburra bisa terbang keesokan harinya. Pembaca jangan berpikiran negatif dulu. Tiket memang sudah dibelikan oleh sponsor dan harus berangkat sesuai tanggal tsb. Singkat cerita, Kookkaburra waktu itu tidak pakai acara ngantri, langsung dijemput di tempat antrian oleh orang dalam (program officer dari pihak sponsor) untuk wawancara visa. Belakangan Kookkaburra baru ngeh, ternyata ... urusan visa meskipun di jadul itu sebenarnya tidak mudah … dasar kamso.

Pengalaman kamso kedua berkaitan dengan (over-sized) koper. Berdasarkan itinerary, transit di Narita selama kurang-lebih 8 jam dan oleh sponsor disediakan tempat istirahat di sekitar airport untuk sekedar mandi (malahan sempat tidur). Karena yakin segala barang sudah di check through sampai Boston, begitu turun dari pesawat, setelah bertanya sana-sini (dan hampir selalu dijawab dengan bahasa Jepang), Kookkaburra akhirnya menemukan hotel yang dimaksud. Masalah timbul setelah tiba di Logan Airport. Yap, betul! Ternyata si Koper nggak ada! Bisa jadi nyangkut di Narita atau di belt conveyor karena kopernya super gede. Hahaha! Akhirnya si Koper berhasil dilacak dan diantar ke dormitory dua hari berikutnya. Ada hikmahnya ternyata, karena nggak pake acara dagdigdug diperiksa isi kopernya di airport (pssst … ada barang selundupan … itu loh makanan kering ‘untuk jatah dua tahun’, hehehe.) Keuntungan lain, bisa hemat ongkos taksi. Loh kok? Lha kan bawaannya tinggal knapsack/backpack/tas ransel? Sewaktu masih di bandara, ada petugas disana yang berbaik hati dan menyarankan Kookkaburra untuk naik “T” (train). Beliau bahkan menuliskan naik T warna apa, turun dan ganti T dimana di secarik kertas: dari bandara naik Shuttle Bus ke MBTA/stasiun kereta, ambil Blue Line turun di Government Centre trus ganti train “B” yang berwarna hijau (Green Line). Kertas tersebut masih Kookkaburra simpan sampai sekarang … maklumlah kan orang kamso.

Seperti apa kata pepatah, ‘There's always a first time for everything,’ maka Kookkaburra pun mengalami gegar budaya (culture shock) untuk pertama kalinya. Dari sekian banyak symptoms yang lengkapnya dapat dibaca di link, ini. Secara garis besar, mungkin yang Kookkaburra alami ini mirip-mirip dua point berikut: ‘Identifying with the old culture or idealizing the old country’; ‘Developing stereotypes about the new culture’. Adapun yang dulu sempat membuat Kookkaburra ‘terkagum-kagum’ yaitu ketika memperhatikan kebiasaan masyarakat setempat makan sambil jalan dan kebiasaan memakai running shoes yang dipadu dengan dress atau suit – usut punya usut ternyata mereka membawa sepatu serep. Intinya timbul pemikiran di benak Kookkaburra yang kampungan ini, betapa orang-orang Amrik yang katanya, katanya ‘modern’ dan ‘civilised’ ini, ternyata tidak modis dan tidak punya etika makan – sekali lagi ini adalah cara pandang Kookkaburra yang diserang culture shock, alias kamso.

Perasaan dianggap pendatang dari negara ‘terbelakang’ pernah Kookkaburra alami. Seperti yang pernah ditulis di KoKi, ada beberapa KoKier yang dibrondongi (yang ini bukan daun muda loh) dengan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang Indonesia. Nah Kookkaburra juga mengalaminya. Pertanyaan-pertanyaan tsb a.l.: apakah rumahmu berlantai tanah? Apakah ada kulkas, TV, mobil, dll. Ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu yang datang dari kenalan baru yang berasal dari Korea, sebut saja namanya Joo. Pertanyaannya adalah: Apakah bangsa kamu kanibal? Hah!!! – kalau gini mah bisa dianggap saudaranya Sumanto.* Sebenarnya ini salah Kookkaburra juga. Ketika ditanya: ‘Are you from Jakarta?’ Kookkaburra mengatakan tidak dan berusaha menjelaskan bahwa Kookkaburra berasal dari pulau yang di dalam peta dan di dunia barat dikenal dengan sebutan Borneo. Begitu mendengar kata Borneo inilah pertanyaan tentang kanibalisme itu muncul. Menurut si Joo, hal makan-memakan orang ini di pelajarinya di SD. Apakah kita serta-merta mengkambing-hitamkan si Joo atau system pendidikan di negara dia?

Kookkaburra muda juga pernah berpikiran rasis, dimana Kookkaburra secara tidak langsung, menghidupkan/mengkonfirmasi African-American stereotype – Tidak ada niat Kookkaburra untuk tebar pesona bibit-bibit rasis. Jauh sebelum ‘Nigerian’ (pake tanda kutip) money scam marak, di kota tempat Kookkaburra sekolah dulu sedang musim hipnotisme. Beberapa korban sudah jatuh, dimana segelintir African-American mengincar international student untuk kemudian di hipnotis dan digiring ke ATM. Bisa ditebak. Korban pun dengan ‘sukarela,’ tanpa paksaan/kekerasan menarik sejumlah cash. (Modus operandi yang senada juga terjadi di Indonesia, dimana pemangsa dan yang dimangsa … disinyalir … sama-sama orang Indonesia.) Dua orang teman Kookkaburra, kebetulan dua-duanya wanita berkebangsaan Jepang, pernah menjadi korban. (Kedua insiden terjadi di Harvard Square dan disekitar Kenmore Sq.)

Terus terang, setelah mendengar kejadian nahas itu dari teman Kookkaburra langsung, timbul asumsi-asumsi negatif di kepala Kookkaburra sehingga jadi parno juga dengan ras tersebut. Kookkaburra tidak bermaksud untuk membuat suatu justifikasi atas tindakan Kookkaburra untuk ber-stereotype. Kookkaburra cuma mau memberi contoh, mungkin, apa yang dikatakan oleh Hilda Kuper berikut ini ada benarnya:

‘Stereotyping proceeded in two directions – generalizing from selected characteristics of individuals to arbitrarily defined categories of people; and, conversely, applying to particular individuals the preconceived image of the broad category’. Intinya, sebagai manusia biasa, bukan dewa/dewi, Kookkaburra punya kecenderungan untuk membuat suatu generalisasi yang negatif meskipun sadar bahwa hal itu (stereotyping) sering kali meleset, tapi sulit untuk dihindari.

Stereotypes are not always accurate! (UK, 2000an)
Apa aja sih stereotype the Brits? Sebagian dari ciri-ciri mereka dapat dibaca di sini. Salah satu stereotype yang melekat di benak Kookkaburra yang kampungan ini mengenai orang Inggris yaitu: ‘Wear bowler hats and umbrellas.’ (Informasi ini sudah lama tertanam dan diperoleh ketika belajar bahasa Inggris di jadoel, masih pake buku L.G. Alexander terbitan Longman.) Hahaha! Tentu saja Kookkaburra keliru, begitu mengetahui bahwa mengempit atau memakai brolly/umbrella itu repot, karena kalau hujan dan pas angin kencang payung bisa patah atau terbang. Tambahan lagi ternyata bowler hats ini sudah tidak pernah dipakai lagi sejak tahun 1960an. Informasi mengenai bowler hats bisa diakses di wikipedia. Yang mana nih kambing hitam-nya? Yang masih terikat dibawah pohon atau yang sudah lepas menuntut ilmu dan mendaki Negeri Cina? Kookkaburra kah? Guru bahasa Inggris-nya kah? Pengarang buku yang kebetulan orang Inggris itu kah?

Prejudice (pre-judge) Kookkaburra terhadap the Brits dalam bahasa kerennya disebut stereotype activation, dimana judgemental level hanya terjadi di pikiran. Sedangkan tindakan rasis seputar African-American di atas sudah masuk ke tingkat stereotype application. Disini, Kookkaburra sudah menerapkan (negatif) stereotype dalam menilai orang. Yang perlu ditanyakan sekarang mungkin: ‘Can people AVOID APPLYING an activated stereotype?’ Jawabnya tentu saja BISA, sejauh ‘kita’ punya niat dan termotivasi untuk menghindari prejudice.

Segampang itukah? Menurut seorang pakar, Hewstone, ‘Well-known cultural stereotypes are notoriously resistant to change.’ Kalau diterjemahkan bebas mungkin artinya kira-kira begini: stereotype yang sudah mengakar itu kagak ade matinye! Di sisi lain, seringkali, kita (penonton/pengamat yang men-judge) dan suku/ras lengkap dengan label negatif itu … mungkin … cenderung menilai dan bertindak hanya karena memang sudah diberi label seperti itu. Ada ahli yang mengatakan: ‘We see what we want to see, as we want to see, as we want to perceive it.’ Singkat cerita, kadang kala, kalau kita melihat ada kambing (berwarna) ungu, pake tapal kaki kuda, diikat dengan si Kancil atau si Jaguar … kita nya lalu … ‘protes’ … ealah … ‘kambing’ kok nggak mirip ‘kambing’???? Sementara si Kambing asli membatin … karena aku kambing ya…makan rumput hijau-lah jangan SNAKE! (sic).

Terus solusi-nya? Mungkin … dengan mencoba untuk menanggapi stereotype bangsa kita dan bangsa lain ‘in moderation’ dan melihatnya dari dua sisi: ‘us’ and ‘them’.

*Untuk yang belum tahu, pada tahun 2003, Sumanto ketahuan mencuri dan memakan mayat seorang nenek yang barusan dimakamkan.

(Diterbitkan di KoKi edisi Culture Shock, Idol & Pelit = Keren - Topik Hari Ini: Gegar Budaya & Perjalanan Hidup, Jumat 23 Maret 2007 1:54 wib.)

No comments: