
Terlihat beberapa orang lalu-lalang. Ibu-ibu dengan kereta bayinya, seorang nenek dengan dua cucunya. Dan entah beberapa puluh orang dari manca-negara yang menikmati cuaca yang indah di taman itu. Sekelompok anak-anak memberi makan Canada Geese dan merpati. Sementara itu, beberapa anak kecil berusaha mengejar merpati yang mematuki remah-remah roti.





Seringkali Kartono mengirim roti, khusus untuk Putri Angsa dan seluruh penghuni kolam. Meskipun Kartono kadang membicarakan masalah anak-anak Sang Putri, tak pernah rasanya Kartono berurusan dengan anak-anak Sang Putri secara langsung. Kartono cukup hafal dengan sifat dan tabiat Putri Angsa. Kartono pun sesekali memuji Sang Putri dan Sang Putri cukup tahu diri. Akan tetapi entah kenapa akhir-akhir ini Sang Putri agak berubah sikap, sepertinya haus akan pujian. Mungkin dia sedang membutuhkan sebuah pengakuan. Ah ... mungkin juga tekanan dan "iklim" politik dari dalam lingkungan internal, seperti yang pernah dianalisa oleh asisten pribadi Sang Putri.
Teriakan-teriakan riang dari arah pohon di sebelah kiri air mancur mengalihkan perhatian Kartono. Dia mengarahkan pandangannya ke pohon tersebut. Dari tempat duduknya, Kartono memperhatikan ada dua anak lelaki yang sedang bermain di dekat pohon itu. Dipandangnya kedua anak itu dengan seksama. Kartono baru sadar, betapa pohon yang dulunya tak lebih tinggi dari dua anak lelaki kecil itu, sudah tumbuh dan berkembang pesat.


"Ah, Abang, manjat pohon sendiri, aku pergi ajah," kata si Adik merajuk.
"Eh, sebentar, Dek, jangan pergi dulu," jawab si Abang sambil berusaha menaiki ranting pohon itu.
"Udah ah ... aku mau main dengan merpati ajah," jawab si Adik sambil berlalu meninggalkan abangnya.

"Ayo dong buruan gendong aku," teriak si Adik sambil merengek.
"Sebentar, Dek. Kita harus pake ancang-ancang nih, jangan asal manjat aja ngikutin arus angin," kata si Abang dengan sabar.
"Oke, oke, pake ancang-ancang," jawab si Adik bersemangat.
"Dek, kau percaya bahwa kau dapat memanjat pohon itu seperti Abang?" tanya si Abang.
"Percaya, percaya, ayo cepat ajarkan aku," kata si Adik tidak sabaran.
"Gini, Dek. Kau lihat ranting itu?"
"Ranting yang terdekat ini, maksud Abang?"
"Betul, Dek, ranting yang terdekat inilah yang menjadi target kita, jangan yang tinggi-tinggi itu. Kau siap?"
"Siap, Bang."

Kartono tersenyum sendiri. Ada rasa haru and bangga yang terselip ketika dia memperhatikan tingkah-polah kedua kakak-beradik itu. Ternyata, apabila dibandingkan dengan manusia dewasa, anak-anak kecil kadang punya perencanaan yang lebih matang dalam mencapai sasarannya. Tidak gegabah.


"Dengan kedua sayapnya, Putri Angsa dapat merangkul semua penghuni kolam, turis lokal dan beberapa pengunjung dari manca negara. Sayapnya tak pernah lelah bekerja, bahkan sampai di luar jam buka-tutup taman pun, dia masih juga menyapa dan berkarya. "


Kartono tergerak untuk bangkit dari kursi taman itu dan berjalan menuju air mancur. Tak lama kemudian dia sudah berada tepat di pinggiran kolam.
"Aku sudah mendengar seluruh isi testimoni itu," kata Kartono singkat. Dia tidak membantah dan tidak mengingkari sedikitpun isi dari semua testimoni tersebut. Kartono mendekat dan mendengarkan lanjutan dari curahan hati Sang Putri.
Satu hal yang cukup mengejutkan Kartono adalah ketika Sang Putri mengeluarkan arsip, sepucuk surat pribadi yang bernada "keras" dari Canada goose. Dalam hati Kartono berpikir mungkin sudah ada kesepakatan antara pengirim surat dan penerima surat untuk menerbitkan surat (yang bukan urusan Kartono itu). Isi surat itu BUKAN untuk mencari simpati, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa Sang Putri adalah makhluk biasa yang ada sifat baik dan buruk nya juga - intinya kedua isi testimoni yang disebarkan berkesan "berimbang."


"Aku bekerja siang malam," cetusnya kesal sambil mematahkan ranting yang digigitnya.


Kartono mendengarkan pidato Putri Angsa dengan cermat. Setelah selesai, ditepuknya sayap Sang Putri.
"Aku mengerti, aku paham, aku bersimpati padamu dan aku akan mendukungmu. Cuma, sekarang aku ragu dengan apa yang kau maksud dengan "profesionalisme". Katakanlah politik itu jahat dan busuk, katakanlah bahwa ada yang akan membunuhmu dari belakang, tapi bukankah penonton mendengar hanya dari salah satu pihak? Itukah pakem jurnalisme terobosan barumu? Tapi sudahlah," kata Kartono tak mau berpanjang-lebar. Bis tumpangannya sebentar lagi lewat dan dia harus segera pulang.
Kartono melambaikan tangannya sambil menambahkan, "Jangan khawatir, aku akan setia untuk datang dan mengirim roti ke kolam ini. Oh iya ... mulai sekarang, supaya kau tidak lupa, akan aku cantumkan "alamat pengirim hanya untuk dirimu seorang" dalam tiap-tiap bungkusan roti itu, sehingga dalam keadaan "terjepit" pun kau akan selalu mengingatnya dan tidak akan membocorkannya," kata Kartono tegas dan langsung meninggalkan kolam.
Pas melewati gerbang keluar, Kartono menoleh ke belakang. Samar-samar, terlihat olehnya sebuah bayangan yang mirip sebuah pohon besar. Dia seperti melihat fatamorgana. Dengan menyipitkan matanya bayang-bayang pohon semakin terlihat jelas olehnya.


Kini dia baru memperhatikan bahwa tak ada alat tulis dan tak ada alat untuk menggambar yang disediakan. Seperti kelas massal. Jaman sudah berubah. Bukan jamannya si "Besar" mengajar si "Kecil." Kini, si "Kecil" pun sudah layak mengajar si "Besar." Learning by doing pun diterapkan. Ah si pembuat roti tawar akan tetap menjadi pembuat roti tawar. Demikian juga pembuat roti dengan rasa yang lain. Yang pasti akan lebih banyak rasa kolaborasi. Rasa "Nano-Nano" yang tentu saja "harus" disambut dengan positip.
Sesampainya di rumah, diceritakannya segala curhat, testimoni dan pencapaian yang diperoleh oleh Putri Angsa kepada istrinya, Kartinah.
"Aku sudah membacanya, terutama soal mendali itu," kata Kartinah.
"Sudah sewajarnya dia mendapat penghargaan, apapun bentuknya. Entahlah, aku cuma sedikit heran, mengapa kita belum pernah mendengar masukan atau tanggapan dari "orang dalam" - pengelola taman itu. Masalahnya adalah, ada kesan bahwa mendali kolektif itu diberikan hanya karena Putri Angsa berjenis kelamin betina, bukan karena kerja kerasnya sebagai individu (lepas dari gender-nya.) Seperti halnya mutu dari roti yang dibuat oleh kaumnya, semua diukur berdasarkan standard "putri" (betina). Alangkah ironisnya, di kekinian ini, tepat pada hari Kartini, ternyata masih ada orang yang secara tak sadar terus-menerus terkungkung dalam dikotomi antara kaum adam dan kaum hawa. Tak ada yang protes, tak ada yang membantah, semua seolah terbius oleh pujian, oleh euphoria sesaat," Kartinah bertutur lirih sambil terhisak.
"Sudahlah, Bu, jangan menangis," hibur Kartono.
"Kau tahu, Pak, hatiku miris. Putri Angsa yang katanya "professional" itu mengancam lagi, meskipun setengah bercanda, katanya dia akan berhenti menjadi pengayom kolam air mancur apabila dia diganggu oleh Papanya Razi," keluh Kartinah.
"Biarlah, Bu. Itu haknya dan mungkin sekarang dia baru mengerti dan memahami demarkasi antara yang 'pribadi' dan 'publik'," kata Kartono sambil terus menenangkan Kartinah.
Malam semakin larut. Kartinah mengambil penanya dan menuliskan puisi berjudul "Lahirnya Sang Idol".
*****
Lahirnya Sang Idol
~ Kartinah - Old Gum Tree ~
Aku tak akan "mematikanmu"
Aku pun tak mau
Akar pohon ini tercabut
Seperti pohon itu

Aku saja yang mati terlebih dahulu
Biarkan ...
Burung bangkai
Memakan dan
Mencabik-cabik tubuhku
Kalau ada yang men-ZALIMI-mu
Jangan pernah kau terjang
Berserahlah
Kepada yang Maha Melihat
Gunakan bulu penamu (quill)
Tangkallah dengan dayung kakimu

Dengan cara "terhormat"
Jangan pernah kau biarkan
Pohon itu menjadi
Tempat pemujaan "idol"
Old Gum Tree, Hari Kartini 2008
No comments:
Post a Comment