Petang itu
Telaga bening, hening
Musim bersemi
Cinta berseri
Sepasang itik Mallard
Hanyut
Dalam buaian
Telaga bening
Di salah satu sudut telaga
Sekelompok ikan berenang riang
Sesekali mendongakkan kepalanya
Muncul disela-sela tumbuhan teratai
Titi si merpati yang sedang memandangi sepasang Mallard itu
Mengalihkan pandangannya ke arah ikan-ikan tersebut
Teringat akan sahabatnya Ikan Jingga
Selepas musim dingin
Tak lagi dilihatnya si Jingga
Sepasang merpati terbang rendah
Melayang sesaat di atas telaga
Menukik di atas tembok beton
Ternyata pasangan Abunk dan Yayank
Keduanya sungguh fotogenit dan tampak serasi
Lengket terus seperti cups and saucers
"Yank, udah tau lom tentang nasib kolom 'Asal Usul'?" tanya Abunk.
"Dulu sih rasa-rasanya ada yang menanyakan, emangnya kenape?" si Yayank balik bertanya.
"Kolom yang sudah berusia 23 tahun itu udah bubar," jelas Abunk singkat.
"Bubar!!!?" kata Yayank setengah berteriak saking terperanjatnya.
"Ya, betul sekali, Yank. Ini aku bacakan kutipannya dari blog pengasuh rubrik itu, Ariel Heryanto," sambung Abunk sambil membacakan kutipan itu dengan lantang.
"Pada akhir April 2008, redaksi Kompas memutuskan untuk menghapuskan rubrik tersebut, tanpa menyebutkan alasan."
"Jadi, seperti pemutusan sepihak?" tanya Yayank setengah berbisik.
"Sebagian 'kecil' orang, mungkin, akan mengambil kesimpulan sepertimu, Yank. Naskah terakhir beliau yang berjudul Pesona adalah tulisannya yang mengalami 'ulur-tarik'. Pesona, seperti yang ditulis Ariel di blognya, ditolak at the last minute sebelum edisi suratkabar naik cetak, tapi kemudian tulisan tersebut digolkan di Kompas cetak versi online."
"Kalau rubriknya 'diputus' tanpa alasan, apakah ada alasan dari penolakan artikel di edisi paper cetak tsb?" tanya Yayank lagi.
"Oh ... alasannya, masih menurut Ariel sendiri, mengutip penuturan Kompas, adalah 'resiko keamanan'," jawab Abunk.
Yayank tak bereaksi sedikitpun.
Dalam sejenak, pasangan Abunk dan Yayank terdiam
Sibuk dengan pikiran masing-masing
Keduanya terhenyak
Menarik nafas ... serentak
Sementara itu pasangan Mallard
Masih berasyik-masyuk di bawah sana
Bermain air
Di sudut yang lain,
Kerumunan ikan-ikan kecil, dan
ikan-ikan besar
Meninggalkan riak-riak kecil
Bergejolak ringan
Di bawah dedaunan teratai
Kerumunan ikan itu menarik perhatian Yayank
Sepintas dilihatnya sekelebat ikan Jingga kecil
Dipasangnya telinganya baik-baik dan,
diarahkannya pandangannya ke rerimbunan teratai
"Mas, kau lihat Mas ...," hanya itu yang bisa diucapkan oleh Yayank.
"Ya ... aku lihat ... si Jingga, kan?" jawab Abunk yang sedari tadi mengikuti arah pandangan mata Yayank.
Abunk dan Yayank kemudian mendengarkan pembicaraan yang terjadi di balik rerumputan di tepi kolam itu dengan seksama.
"Jingga, seharusnya kamu berada di akuarium, bukan disini, di kolam ini," kata Ikan Senior.
"Maafkan aku Ikan Senior, sepertinya ada penyusup, akuarium bobol dan akupun terdampar disini," jawab Ikan Jingga yang tidak begitu tahu persis di kolam mana dia berada.
"Oh begitukah ceritanya? Aku pikir kau sudah senang-senang disana, makan disuapin dan mandi pun 'diobok-obok mesra'," pancing Ikan Senior.
"Tadinya memang aku bahagia, karena aku mulai belajar mempercayai Tuanku, dan aku pun mulai membuka diri. Pada awalnya Usul Asal-asalan-ku itu tak digubris. Tapi selang beberapa saat, mungkin setelah dikonsultasikan kepada yang punya 'power,' usulanku itu dikomentari dibawah komentarku dan gagasanku itu dimodifikasi sesuai kebijaksanaan dalam negri. Aku bangga, aku ditawarkan untuk 'bertelur' secara kontinu, seingatku minimal dua-tiga kali dalam seminggu," kata Ikan Jingga sambil memalingkan wajahnya.
"That's too much. Aku tolak dengan sopan, tentu saja aku harus memperhatikan alat reproduksiku. Lagian aku menulis just for fun, tak ada beban, I am not a machine," sambung Jingga pelan.
"Jangan sedih, Nak, engkau tidak sendirian," hibur Ikan Senior.
"Ya aku tau, aku barusan mendengar pembicaraan Abunk and Yayank, kolumnis sekaliber Ariel Heryanto aja, tulisannya sudah lebih dari satu kali yang ditolak. Sedangkan aku, meskipun tulisan utamaku TAK pernah masuk recycle bin sekalipun, aku SEMPAT penasaran dengan nasib surat terakhirku untuk si Koko," celoteh Jingga panjang lebar.
"Hm, ini bukan pertama kalinya kau menyebut tentang si Koko. Kenapa tidak kau tanyakan langsung pada Tuanku itu? Tuh dia lagi santai di pulau," tantang Ikan Senior.
"Aku? Menanyakan hal 'sepele' itu kepadanya? Boleh jadi aku sungkan menanyakannya, bisa jadi juga aku gengsi untuk mempersoalkannya. Setelah aku baca berulang-ulang arsip suratku sendiri, isinya itu MUNGKIN sedikit bernada 'keras' dan dapat mengusik preman, maksudku ... suratku itu punya potensi 'resiko keamanan,' atau mengarah pada 'pencemaran' nama baik seseorang, atau bahkan dua orang, yang cukup 'terhormat'. Aku hanya bisa mereka-reka. Akhirnya akupun harus menerima dan memutuskan untuk bersikap menghargai kebijakan dan keputusan redaktur," tambah Ikan Jingga.
"Itu hak mu, cuma aku tetap menyarankan untuk terbuka dan komunikasikanlah baik-baik, mungkin terjadi human error, ada penyusup yang menghilangkan barang bukti, bukankah server pada waktu itu sedang jeblok pertahanannya? Lagian, ente ini siape? Hello? Mungkin ada kesalahan teknis. Bukankah kita sudah sering dengar bahwa beberapa surat tak sampai tujuan?" jelas Ikan Senior panjang lebar.
"Terima kasih Ikan Senior, kejadiannya sudah lama, aku sudah minum Panadol dan aku sudah lupa. Cuma dalam rangka Harkitnas ini dan sehubungan dengan matinya kolom Asal Usul, aku jadi bertanya-tanya sudah bangkitkah negara ini? Sudah dijaminkah 'kebebasan' pers? Sampai sejauh manakah jargon-jargon 'Apa Saja-Siapa Saja' dapat diterapkan? Bukankah sangat ironis, apabila ketika kita mengobarkan semangat 'keterbukaan,' 'kebebasan' menulis, kita sendiri dikebiri dan mengibiri?" kata si Jingga panjang-lebar, seperti kepada dirinya sendiri.
Ikan Senior pun terdiam ... membisu.
Abunk yang mendengarkan percakapan ikan-ikan dibalik teratai itu sebenarnya paham, seringnya dia mondar-mandir di pulau sedikit banyak membuatnya dapat mengendus dan mengetahui atmosfir di dalam pulau. Saudara jauhnya dulu pernah menjadi 'orang dalam'.
"Kau tau, Yank, hal yang lebih 'lazim' terjadi adalah meletakkan segala keputusan dan kebijakan kepada pihak yang lebih berkuasa, lepas dari apakah majority ruled," kata Abunk.
"You can't win, can you?" kata Yayank.
Dalam sejenak, pasangan Merpati itu tak berkata-kata, sampai akhirnya Yayank berujar pelan:
"Apakah ada kaitannya dengan dunia pers yang, MUNGKIN, masih bersifat patriarki?"
"Terserah Yayank lah mau mengaitkannya dengan dunia patriarki, yang jelas, Ada Power Ada Policy, titik," jawab Abunk ketus sambil menambahkan: "Seandainya ..."
Belum sempat Abunk meneruskan posisinya, seekor Magpie hinggap di dahan pohon dan memotong pembicaraan mereka.
"Yayank benar Abunk, aku sependapat," kata Magpie menimpali.
"Prinsip ku, secara pribadi sih, jangan sampai pagar makan tanaman, jangan biting the hand that feeds you. Sederhana bukan?" sambung Magpie lagi.
"Asal jangan kau artikan ABS (Asal Bokap Senang) aja," jawab Abunk asal-asalan.
"Aku makan dari pohon ini, aku membuat sarang di pohon ini dengan membawa 'sampah' (ranting-ranting kecil) ke pohon ini. Pohon ini memberikan perlindungan bagi aku dan keluargaku. Mana mungkin aku berbuat 'nakal' terhadap pohon ini?" kata Magpie yang kemudian terbang dan mendarat di sandaran kursi taman.
"Kursi, seperti biasa, kau selalu sailen-sailen, nguping sana, nguping sini," kata Magpie kepada Kursi.
"Ah kau Magpie, ada-ada aja. Meskipun sekarang ini Harkitnas, aku tak akan 'bangkit'," kata Kursi singkat.
"Say something, Kursi," desak Magpie.
"Kupikir, Yayank ada benarnya," tegas Kursi.
"Tentang patriarki itu?" sambar Magpie cepat.
Kursi tak menjawab pertanyaan Magpie secara eksplisit.
"Sekarang, aku jadi lebih mengerti dan paham, betapa beratnya perjuangan TUANKU Angsa Putih. But ... the show must go on," jawab Kursi.
"Just like that?" tanya Magpie.
"Yup, kaum yang dianggap less powerful sebenarnya punya 'power' juga, untuk take it OR leave it OR sailen-sailen," kata Kursi menutup pembicaraan.
Senja semakin tua
Boelan yang sedari tadi bermalas-malasan di langit
Terbangun
Digelitiki dedaunan
"Aaah ..." katanya manja kegelian
Senang digodain oleh Tuan Daun
Mr Angin cemburu.
"Lihat siapa yang punya power disini," katanya dalam hati.
Mr Angin bergeming
Membuat Tuan Daun terdiam
Tak lagi dapat bercanda dengan Boelan
Sesaat kemudian,
Mr Angin menghembuskan angin kencang
Kesempatan yang dipakai Bang Awan Kelabu untuk membelai pipi Boelan
Pipi Boelan memerah djamboe
"Aaah ... the show must go on!" hanya itu jawab Boelan.
Mr Angin kembali cemburu
Dihembuskannya angin yang lebih besar lagi
Bang Awan Kelabu beranjak pergi
Bulan bersih, kuning ke-emasan
Momen itu digunakan oleh Mr Angin untuk mengecup Boelan
"Ouuch! Lelaki, lelaki, power patriarki. Ternyata saat ini ANGIN yang punya power," kata Boelan tak berkutik.
"Policy itu, selalu mengikuti kemana berhembusnya angin, chayank," kata Mr Angin dengan penuh percaya diri. Sambil berlalu didendangkannya Cinta Sebening Embun Ebiet G. Ade.
...
Gelora cinta
Gelora dalam dada
Kenapa tak kau hiraukan ...
Old Gum Tree, Harkitnas, 2008
Catatan: Dalam postingan Akhir Sebuah Cerita, sebanyak dua kali Ariel Heryanto menuliskan judul Persona, meskipun dalam postingan sebelumnya dan judul yang diterbitkan di Kompas online berbunyi Pesona.