Photographs and written text cannot be expected to represent the same information in the same way. If photographs are thought of as a substitute for written words, and expected to achieve the same ends, then a comparison of the two is bound to conclude that written words do the job better (Sarah Pink).
Setiap gambar - dalam hal ini foto - dapat dikatakan memiliki identitas dan riwayat tersendiri. Apakah foto tersebut berupa posed photographs (misal foto di studio dimana
Pada awalnya, foto-foto yang dihasilkan mungkin hanya dinikmati oleh audience yang terbatas. Dengan berjalannya waktu, foto-foto tersebut merambah penikmat yang lebih luas - dari foto album keluarga sampai dinikmati masyarakat luas; dari pameran yang terbatas audience-nya hingga direproduksi/dipublikasikan dalam bentuk buku/katalog; dari arsip museum/arsip bank foto yang berbayar sampai mecungul dan menyebar luas di Internet secara gratis.
Ungkapan klise A picture may be worth a thousand words menimbulkan kesan bahwa makna dari suatu gambar tergantung kepada si penikmat foto tersebut. Penempatan suatu foto di tempat/bagian/kolom tertentu sedikit banyak mengubah makna atau pesan yang akan disampaikan. (Bandingkan misalnya foto/gambar yang dipajang di Profil dan di KokiArt atau KokiFood.) Penambahan caption atau teks dalam sebuah foto pun dapat mempersempit makna sesuai dengan apa yang akan disampaikan oleh pengguna/penulis teks tersebut - suatu interpretasi yang mungkin jauh berbeda dari tujuan awal pembuatan foto tersebut. Singkat cerita, “embel-embel” berupa diskripsi atau keterangan foto tersebut mengkonstruksi dan mempersempit arti, konsep dan mental image, sehingga, sadar atau tidak sadar, penikmat foto digiring untuk memaknai foto sesuai dengan maksud dan tujuan si penulis.
Foto “Indonesian Presiden Sukarno Receives Guest" yang copyright nya diperoleh Getty Images dari Hulton Archive pada tahun 2005 ini, misalnya memiliki interpretasi yang berbeda, ketika ditempatkan di KokiKlik. (Sepanjang sejarahnya, CMIIW, KokiKlik "selalu" diisi dengan foto hasil jepretan Kokiers/penulis/pengirim foto.)
Artikel utama dengan judul Sungkem Soekarno, Gotcha! yang pada awalnya tidak mencantumkan Keterangan Foto itu akhirnya dibubuhi keterangan tambahan: "Presiden Sukarno (1901 - 1970) ketika menerima sungkem dari seorang wanita yang bersujud dengan penuh santun dihadapannya. Peristiwa terjadi tahun 1960-an di istana negara, Jakarta" yang merupakan terjemahan bebas dari Getty Images: Indonesian President Sukarno (1901 - 1970) (seated) extends his hand to a woman who kneels before him in formal greeting, 1960s.
Meskipun si penulis, Moderator - Koki, sudah menuliskan bahwa tamu yang diterima oleh Presiden Soekarno itu melakukan sungkem (atau "formal greeting" seperti keterangan Getty Images) dan bersujud dengan penuh santun (penuh santun = rasa hormat?), Sang Moderator masih juga mempertanyakan makna sungkem yang disertai "HAHAHA" dengan huruf besar:
Kira-kira apa ya maknanya buat wanita yang bersimpuh ini? Menyampaikan rasa hormat? Atau? Kawini aku (juga) dong? HAHAHA....
Foto yang diambil pada tanggal 1 Januari 1960 ini tampaknya merekam silahturahmi pada acara Tahun Baru. Akan tetapi, acara yang bersifat resmi itu (jas, dasi, kebaya) digambarkan sebagai ajang lucu-lucuan dengan kalimat "KLIK .... kena deh.... awass sehabis sungkeman cek cincinnya...." (Awalnya, sebelum diedit ulang, tertulis "KLIK .... kena deh.... awass cek cincinnya....").
Sebenarnya, foto yang dimaksud sudah self-explanatory, dimana tanpa keterangan tertulispun makna yang akan disampaikan oleh foto itu sudah cukup jelas. Akan tetapi, sulit rasanya untuk mempercayai bahwa "keterangan lucu" itu memberikan ilustrasi betapa pilihan kata dan pertanyaan-pertanyaan "lucu" tersebut, secara tidak sadar, merupakan refleksi atau cerminan dari cara berpikir si penulis "memandang" (baca: melecehkan) Soekarno dan the (unidentified) guest pada saat Moderator "membaca" foto itu.
Komen-komen yang merupakan reaksi dari artikel utama (BUKAN greeting atau chatting di profile/kamar pribadi) "rata-rata" menunjukkan bahwa foto dan keterangan gambar telah membuat para pembaca/komentator membuat suatu kesimpulan atau intepretasi sesuai dengan maksud dan tujuan Moderator. Sebagai active readers apakah kita serta-merta setuju begitu saja dengan membiarkan foto tersebut "dilecehkan" (baca: diinterpretasikan) sedemikian rupa? Entahlah ..., untuk suatu CJ dengan moto "Siapa Saja, Menulis Apa Saja" mungkin hal ini bisa "dibenarkan"?
Ada kasus dimana caption atau keterangan foto mempertegas makna dari suatu foto. Akan tetapi tidak berarti keterangan tekstual itu harus mendominasi dan dijadikan satu-satunya makna dan lebih berharga dibanding foto itu sendiri. Kembali ke kutipan di awal tulisan ini, apakah "written words do the job better?"