More Pisang Please ...

≈ MaKlumat ≈

Terhitung Mulai Tanggal 9 Juni 2009, Kelima blog (beserta seluruh Kontennya) atas nama Mbah MD sudah dilimpahKan Kepada CiPung aKa PungguK KooKKaburra.

Sebagai pewaris tahta Kerajaan KooKKaburra Bisnis Inc. THUS pemiliK tunggal (pemegang 100% saham) PungguK KooKKaburra (selanjutnya disebut "Owner"), memiliKi tanggung jawab dan Kewenangan sepenuhnya terhadap blog-blog tersebut.

MaKlumat ini dapat diubah dalam waKtu seKonyong-Konyong tanpa pemberitahuan sebelum dan sesudahnya.

ttd.

Owner
≈ PungguK KooKKaburra ≈

Sunday 27 April 2008

Sang Kodok

~ Mbah MD - Old Gum Tree ~

Sang Kodok (Patya)
Source: dilawlursan@YouTube.com

Sang Kodok, e sang e sang Kodok
Kenapa tidak mau mau timbul

Mangkenye enggak mau timbul
Banyak anak suka begajul

Sang Kodok, e sang e sang Kodok
Kenapa tidak timbul timbul aje

Mangkenye enggak mau timbul
Karna ujannye kagak ade

Kak Kokok, e-Kak e-Kak Kokok
Kenapa udah lama kagak bisik-bisik

Mangkenye kagak mau bisik-bisik
Kar'ne pembaca pada berisik

Kak Kokok, e-Kak e-Kak Kokok
Kenapa kagak timbul timbul aje

Mangkenye kagak mau nimbul
Kar'ne Laler Ijo nye kagak ade

Peri Biru tampak mendengarkan dendangan lagu sambil mengikuti irama musik Sang Kodok. Tiba-tiba dia terhenyak dan bangkit dari lamunannya. Peri Biru mendapat ide. Diangkatnya tongkat ajaibnya. Dan "secara" sulap "secara" sihir, permintaan Sang Kodok mengenai hujan dan Laler Ijo terkabulkan.

Laler Ijo menclok ... ternyata pas mau "begadang". Karena sedang dinas maka perlu pake kamuflase, bise jadi supaya kagak ketauan ame atasan ato ade alasan laen. Pas lagi tiarap di bunga Ijo, ade Cicak di "dinding" pohon. Setelah menyebutkan nama "asli" dari Laler Ijo, tanpa basa-basi yang berkepanjangan Laler Ijo itupun di ... hap lalu ditangkap. Eh ketahuan deh.

Peri Biru kembali memainkan tongkatnya.
Selang beberapa saat, turunlah hujan dengan derasnya.


Sang Kodok pun muncul dan bermain hujan-hujan-an.
Alhamdullilah, joebahnye kagak luntur.
Dia pun menjadi Jirigen dan memimpin orkes Kodok Ngorek.
Meskipun tak ada pemain "violent"-nya
(lagi di Ams. nyari Kokok.)

Nun di balik pohon, dekat jalan beraspal terlihat ada seekor kodok sedang berdiam diri. Ternyata Kodok Coklat. Kodok Coklat, yang takut ame ujan itu lagi ketawa-ketiwi. Dia menikmati paduan suara Kodok Ngorek. Tabuhan gendang dan kerincingan Sang Kodok tidak menusuk telinga. Meskipun lumayan berisik, cukup menghibur dan menggelitik (well done).

Pada saat Kodok Coklat turut mendendangkan lagu Sang Kodok, lewatlah Emily bersama putrinya, Deenata Tambun yang orangnya tidak "setambun" namanya. Tampaknya mereka habis pulang belanja di Tesco dan tak dapat menghindar dari hujan.

"Mama denger paduan suara kodok itu," tanya Deenata.
"Ya denger, donk, suaranya kenceng gitu," jawab Emily.
"Trus penyanyi solonya, mama tau juga?" selidik Deenata.
"Lha ya tau, donk, masa mama lalu harus pura-pura?" kata Emily dengan herannya.
"Eh dah kayak sayembara aja," kata Deenata sambil tersenyum simpul. Dia terkenang dengan beberapa sayembara (baca: tebak-tebakan) yang kadang berbuntut dengan "saling tuduh" dan "saling curiga."

Tiba-tiba ada kesalahan nada, sedikit saja dan terdeteksi oleh kuping Emily dan Deenata. Terdengar ada suara sumbang dan terjadi keributan kecil. Kodok "A" membantah bahwa bukan dirinya yang "salah nyanyi." Kodok "B" "menuduh" Kodok "C" dan "memaksa" Kodok "C" untuk "mengaku." Kodok "C" tak berniat buka mulut, mungkin bagi dirinya "diam itu emas" - toh bukan Kodok "C" yang salah.

"Aduh, tuh kodok koq jadi ribet dan ribut, ya ...?" Emily bergumam sambil menggaruk-garuk kepalanya sambil memandangi rambutnya yang rontok. Sementara itu, sambil menahan senyum Sang Jirigen kemudian memainkan "If You Don't Know Me By Now" ...... you will never, never, never know me.

If You Don't Know Me By Now (Simply Red)
Source: ELCIDVIVAR@YouTube.com

Monday 21 April 2008

Kartinah Pun Menangis

~ Mbah MD - Old Gum Tree ~

Seperti biasanya, setelah penat bekerja seharian, Kartono, Juru Kunci Taman Old Gum Tree menyempatkan diri untuk duduk beristirahat di kursi taman. Pandangannya tertuju pada kolam dengan air mancurnya. Beberapa satwa, angsa, merpati, bebek Mallard dan Canada Geese, sedang bersenda-gurau di dalam kolam.

Terlihat beberapa orang lalu-lalang. Ibu-ibu dengan kereta bayinya, seorang nenek dengan dua cucunya. Dan entah beberapa puluh orang dari manca-negara yang menikmati cuaca yang indah di taman itu. Sekelompok anak-anak memberi makan Canada Geese dan merpati. Sementara itu, beberapa anak kecil berusaha mengejar merpati yang mematuki remah-remah roti.

Sebagian merpati memilih bertengger di pohon, menikmati langit biru diselingi awan putih.

Sekelebat kawanan merpati sesekali terbang rendah, menikmati roti yang diberikan oleh tangan-tangan mungil. Selain roti tawar, ada juga yang menebarkan roti manis, asin, asam, pedas dan pahit. Ada yang buatan sendiri dan ada yang diproduksi secara berkolaborasi.

Sebagian merpati memilih bercengkerama di atas pohon, menikmati langit yang berselimut kabut hitam. Merpati yang bertengger paling tinggi menatap celah awan yang berwarna putih. Hmm ... ada tanda tanya terlukis di awan itu. Ada apakah gerangan?

Ooo ... ternyata ada sesuatu yang tidak biasa. Di antara air mancur tampak Putri Angsa yang cantik jelita, memamerkan kemolekan tubuhnya. Sungguh, selama ini, tak ada yang menyangsikan kecantikan dan keanggunan lahiriah dan batiniah Sang Putri, serta kecemerlangan intelektualitasnya.

Hari ini sungguh-sungguh diluar kebiasaannya. Putri Angsa tak henti-hentinya mempertontonkan lekukan tubuhnya. Kepiawiannya melenturkan lehernya yang jenjang, menjelajahi tiap sudut dan melakukan gerakan-gerakan yang mungkin belum pernah diterobos oleh angsa lain. Pada saat yang bersamaan dia pun dapat mengembangkan sayapnya dan menjaga keseimbangan tubuhnya. Betapa Putri Angsa itu menarik perhatian dan kekaguman para pengunjung taman. Sungguh menakjubkan dan mempesonakan. Boleh dikata tak ada yang dapat mengingkari kenyataan itu.

Seringkali Kartono mengirim roti, khusus untuk Putri Angsa dan seluruh penghuni kolam. Meskipun Kartono kadang membicarakan masalah anak-anak Sang Putri, tak pernah rasanya Kartono berurusan dengan anak-anak Sang Putri secara langsung. Kartono cukup hafal dengan sifat dan tabiat Putri Angsa. Kartono pun sesekali memuji Sang Putri dan Sang Putri cukup tahu diri. Akan tetapi entah kenapa akhir-akhir ini Sang Putri agak berubah sikap, sepertinya haus akan pujian. Mungkin dia sedang membutuhkan sebuah pengakuan. Ah ... mungkin juga tekanan dan "iklim" politik dari dalam lingkungan internal, seperti yang pernah dianalisa oleh asisten pribadi Sang Putri.

Teriakan-teriakan riang dari arah pohon di sebelah kiri air mancur mengalihkan perhatian Kartono. Dia mengarahkan pandangannya ke pohon tersebut. Dari tempat duduknya, Kartono memperhatikan ada dua anak lelaki yang sedang bermain di dekat pohon itu. Dipandangnya kedua anak itu dengan seksama. Kartono baru sadar, betapa pohon yang dulunya tak lebih tinggi dari dua anak lelaki kecil itu, sudah tumbuh dan berkembang pesat.

Kini pohon itu sudah semakin tinggi. Anak lelaki yang lebih besar itu harus melompat untuk dapat memanjat pohon itu. Sementara anak lelaki yang kecil tak dapat meraih ranting pohon itu, terlalu tinggi untuk jangkauan tangannya.

Sambil tersenyum, Kartono menguping pembicaraan keduanya:

"Ah, Abang, manjat pohon sendiri, aku pergi ajah," kata si Adik merajuk.
"Eh, sebentar, Dek, jangan pergi dulu," jawab si Abang sambil berusaha menaiki ranting pohon itu.
"Udah ah ... aku mau main dengan merpati ajah," jawab si Adik sambil berlalu meninggalkan abangnya.

"Jangan pergi, Dek, sini Abang bantu," kata Sang Abang sambil menangkap adiknya dari belakang.
"Ayo dong buruan gendong aku," teriak si Adik sambil merengek.
"Sebentar, Dek. Kita harus pake ancang-ancang nih, jangan asal manjat aja ngikutin arus angin," kata si Abang dengan sabar.
"Oke, oke, pake ancang-ancang," jawab si Adik bersemangat.
"Dek, kau percaya bahwa kau dapat memanjat pohon itu seperti Abang?" tanya si Abang.
"Percaya, percaya, ayo cepat ajarkan aku," kata si Adik tidak sabaran.
"Gini, Dek. Kau lihat ranting itu?"
"Ranting yang terdekat ini, maksud Abang?"
"Betul, Dek, ranting yang terdekat inilah yang menjadi target kita, jangan yang tinggi-tinggi itu. Kau siap?"
"Siap, Bang."

Akhirnya, dengan bantuan si Abang, si Adik pun berhasil memanjat pohon itu, dengan berkonsentrasi hanya pada ranting yang akan dicapainya saja. Bukankah ada "norma" yang berlaku bahwa yang "Besar" lah yang mengajarkan/menasehati yang "Kecil"?

Kartono tersenyum sendiri. Ada rasa haru and bangga yang terselip ketika dia memperhatikan tingkah-polah kedua kakak-beradik itu. Ternyata, apabila dibandingkan dengan manusia dewasa, anak-anak kecil kadang punya perencanaan yang lebih matang dalam mencapai sasarannya. Tidak gegabah.

Kartono kembali mengedarkan pandangannya ke arah kolam. Sang Putri tampak sedang bercengkerama dengan teman-temannya sesama angsa. Ternyata Putri Angsa sedang menunjukkan beberapa testimoni dari seorang mantan pengunjung yang kini tinggal di luar negeri, serta perolehan mendali yang diterimanya tadi pagi.

Testimoni tersebut antara lain berbunyi:
"Dengan kedua sayapnya, Putri Angsa dapat merangkul semua penghuni kolam, turis lokal dan beberapa pengunjung dari manca negara. Sayapnya tak pernah lelah bekerja, bahkan sampai di luar jam buka-tutup taman pun, dia masih juga menyapa dan berkarya. "

Testimoni yang lain berbunyi: "Kedua sayap Putri Angsa tampak kokoh, kuat sekaligus lembut dan lentur, sehingga dapat mengayomi segala sifat dan karakter hampir seluruh penduduk dan pengunjung kolam."

"Kedua belah kaki Sang Putri ini pun tak dapat disangsikan kedahsyatannya dalam mendayung dan mengarungi badai kecil dan besar. Dan waktu telah membuktikannya." Begitulah bunyi sebagian lagi testimoni bapak itu.

Kartono tergerak untuk bangkit dari kursi taman itu dan berjalan menuju air mancur. Tak lama kemudian dia sudah berada tepat di pinggiran kolam.
"Aku sudah mendengar seluruh isi testimoni itu," kata Kartono singkat. Dia tidak membantah dan tidak mengingkari sedikitpun isi dari semua testimoni tersebut. Kartono mendekat dan mendengarkan lanjutan dari curahan hati Sang Putri.

Satu hal yang cukup mengejutkan Kartono adalah ketika Sang Putri mengeluarkan arsip, sepucuk surat pribadi yang bernada "keras" dari Canada goose. Dalam hati Kartono berpikir mungkin sudah ada kesepakatan antara pengirim surat dan penerima surat untuk menerbitkan surat (yang bukan urusan Kartono itu). Isi surat itu BUKAN untuk mencari simpati, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa Sang Putri adalah makhluk biasa yang ada sifat baik dan buruk nya juga - intinya kedua isi testimoni yang disebarkan berkesan "berimbang."

Percakapan Kartono dan Putri Angsa terhenti sejenak. Dua anak kecil sedang melemparkan roti yang sudah bulukan bermerek Uploader. Melihat roti itu, wajah Putri Angsa mendadak sontak merah. Paruhnya menahan geram.

"Badai saljupun sudah aku terjang," katanya sambil berusaha menahan emosinya.
"Aku bekerja siang malam," cetusnya kesal sambil mematahkan ranting yang digigitnya.

"Kalian lihat butiran-butiran keringatku? Berapa orang kalian pikir yang mengerjakan semua ini? Meskipun ini bukan pekerjaan utamaku, semua yang kukerjakan itu orisinil, hasil pemikiranku sendiri dan aku tidak dibayar untuk kerja tambahan/sampingan ini. Tapi aku sangat menikmatinya. Beberapa waktu yang lalu, seseorang telah berusaha melengserkan diriku dengan cara "tidak terhormat." Untunglah ada Jawara Celamat yang memperjuangkanku," katanya kepada para pemberi roti.

"Kalian tahu berapa harga server yang dibeli oleh pengelola taman ini? Aku jelaskan ini semua agar supaya kalian mengerti bahwa misiku adalah untuk mencerdaskan bangsa. Membudayakan membaca dan menulis terutama. Memasyarakatkan menulis dan menulis(kan tentang) masyarakat," lanjutnya berapi-api.

Kartono mendengarkan pidato Putri Angsa dengan cermat. Setelah selesai, ditepuknya sayap Sang Putri.
"Aku mengerti, aku paham, aku bersimpati padamu dan aku akan mendukungmu. Cuma, sekarang aku ragu dengan apa yang kau maksud dengan "profesionalisme". Katakanlah politik itu jahat dan busuk, katakanlah bahwa ada yang akan membunuhmu dari belakang, tapi bukankah penonton mendengar hanya dari salah satu pihak? Itukah pakem jurnalisme terobosan barumu? Tapi sudahlah," kata Kartono tak mau berpanjang-lebar. Bis tumpangannya sebentar lagi lewat dan dia harus segera pulang.

Kartono melambaikan tangannya sambil menambahkan, "Jangan khawatir, aku akan setia untuk datang dan mengirim roti ke kolam ini. Oh iya ... mulai sekarang, supaya kau tidak lupa, akan aku cantumkan "alamat pengirim hanya untuk dirimu seorang" dalam tiap-tiap bungkusan roti itu, sehingga dalam keadaan "terjepit" pun kau akan selalu mengingatnya dan tidak akan membocorkannya," kata Kartono tegas dan langsung meninggalkan kolam.

Pas melewati gerbang keluar, Kartono menoleh ke belakang. Samar-samar, terlihat olehnya sebuah bayangan yang mirip sebuah pohon besar. Dia seperti melihat fatamorgana. Dengan menyipitkan matanya bayang-bayang pohon semakin terlihat jelas olehnya.

Pohon itu sungguh besar dan rimbun. Ada generasi baru yang bermain dan menduduki pohon itu. Ranting pohon itu sudah membesar dan anak-anak pun dapat berlompatan di atasnya. Anak-anak dibiarkan bermain sendirian dengan pengawasan minimal. Paling asyik buat main petak umpet dan mojok. Kalau ada yang naksir satu sama lain, pasti akan digodain - ah mungkin itu keinginan alam bawah sadar - Jurnalisme Cinta.

Tiba-tiba bayangan pohon itu mulai memudar. Kembali Kartono memicingkan matanya. Apakah aku salah lihat? tanyanya dalam hati. Dahan pohon itu ternyata lebih berat ke satu arah dan condong ke kiri. Banyak sekali gambar tempel sebesar ukuran kuku jempol dengan aneka warna, rupa dan bentuk terpampang di pohon itu. Semua yang ada di dahan itu berkelap-kelip dan ada yang kalau ditekan dan dipencet bisa bersuara, bahkan bernyanyi. Semuanya lucu-lucu.

Kini dia baru memperhatikan bahwa tak ada alat tulis dan tak ada alat untuk menggambar yang disediakan. Seperti kelas massal. Jaman sudah berubah. Bukan jamannya si "Besar" mengajar si "Kecil." Kini, si "Kecil" pun sudah layak mengajar si "Besar." Learning by doing pun diterapkan. Ah si pembuat roti tawar akan tetap menjadi pembuat roti tawar. Demikian juga pembuat roti dengan rasa yang lain. Yang pasti akan lebih banyak rasa kolaborasi. Rasa "Nano-Nano" yang tentu saja "harus" disambut dengan positip.

Sesampainya di rumah, diceritakannya segala curhat, testimoni dan pencapaian yang diperoleh oleh Putri Angsa kepada istrinya, Kartinah.
"Aku sudah membacanya, terutama soal mendali itu," kata Kartinah.
"Sudah sewajarnya dia mendapat penghargaan, apapun bentuknya. Entahlah, aku cuma sedikit heran, mengapa kita belum pernah mendengar masukan atau tanggapan dari "orang dalam" - pengelola taman itu. Masalahnya adalah, ada kesan bahwa mendali kolektif itu diberikan hanya karena Putri Angsa berjenis kelamin betina, bukan karena kerja kerasnya sebagai individu (lepas dari gender-nya.) Seperti halnya mutu dari roti yang dibuat oleh kaumnya, semua diukur berdasarkan standard "putri" (betina). Alangkah ironisnya, di kekinian ini, tepat pada hari Kartini, ternyata masih ada orang yang secara tak sadar terus-menerus terkungkung dalam dikotomi antara kaum adam dan kaum hawa. Tak ada yang protes, tak ada yang membantah, semua seolah terbius oleh pujian, oleh euphoria sesaat," Kartinah bertutur lirih sambil terhisak.

"Sudahlah, Bu, jangan menangis," hibur Kartono.
"Kau tahu, Pak, hatiku miris. Putri Angsa yang katanya "professional" itu mengancam lagi, meskipun setengah bercanda, katanya dia akan berhenti menjadi pengayom kolam air mancur apabila dia diganggu oleh Papanya Razi," keluh Kartinah.

"Biarlah, Bu. Itu haknya dan mungkin sekarang dia baru mengerti dan memahami demarkasi antara yang 'pribadi' dan 'publik'," kata Kartono sambil terus menenangkan Kartinah.

Malam semakin larut. Kartinah mengambil penanya dan menuliskan puisi berjudul "Lahirnya Sang Idol".
*****

Lahirnya Sang Idol
~ Kartinah - Old Gum Tree ~

Aku tak akan "mematikanmu"
Aku pun tak mau
Akar pohon ini tercabut
Seperti pohon itu

Biarkan ...
Aku saja yang mati terlebih dahulu
Biarkan ...
Burung bangkai
Memakan dan
Mencabik-cabik tubuhku

Kalau ada yang men-ZALIMI-mu
Jangan pernah kau terjang
Berserahlah
Kepada yang Maha Melihat
Gunakan bulu penamu (quill)
Tangkallah dengan dayung kakimu

Kalau kau mau mati
Dengan cara "terhormat"
Jangan pernah kau biarkan
Pohon itu menjadi
Tempat pemujaan "idol"

Old Gum Tree, Hari Kartini 2008

Sunday 20 April 2008

Merpati Putih di Pemakaman

~ Mbah MD - Old Gum Tree ~


Merpati Putih (Chrisye) Source: tidakapa2lagu@YouTube.com

Mengering sudah
Bunga dipelukan


Merpati putih
Berarak pulang


Terbang ...
Menuju boelan ...

Kuayunkan langkahku
Melewati taman Old Gum Tree
Ada empat bangku yang terisi
Sisanya kosong

Kumasuki pintu pemakaman
Bangku kosong itu
Kelihatan cukup resik
Dikelilingi tiga pohon conifer kecil,
Daffodil Kuning dan Primrose Merah
Yang menampakkan wajah mereka

Kubacakan surat dari Venus itu di depan makamnya
Little Fairy yang menjaga makamnya turut menyimak
Sambil tersenyum simpul

Sesaat kemudian,
Diambilnya tongkatnya dan ...
Simsalabimbimbim

Empat bangku yang tadinya terisi itu
Mendadak kosong dalam sekejap dan ...

"Lho, kenapa aku ada disini?" tanya Merpati bingung.

"Aduh, maaf, aku basah, abis berenang, semoga pistachio-nya nggak basah," kata Burung Biru.

"Nyang kering (pistachio-nya), dah aku abisin," kata Tupai (padahal masih ada sisa segenggam lagi ditangannya).

"Hei, kalian semuanya, ayo gabung!" teriak Magpie dengan lantang.
"Gabung apaan?" teriak Tupai, Burung Biru dan Merpati hampir berbarengan.
"Ini lho, ada merchandise items, stickers, percuma punya!" sahut Magpie.
"Percuma?" tanya Merpati.
"Percuma itu artinya gratis, tis, tis, soale aku buat dan produksi sendiri pake fasilitas kantor!" jawab Magpie dengan culunnya.

Tiba-tiba ...
Salah satu dari kursi taman itu terpelanting.
Gedrubrrrrrrrrraaaaaaak!!!

Boelan pun jadi bengong.
Merpati Putih yang bertengger di pintu masuk pemakaman terkejut!
Lalu terbang tinggi ...

PS: Dalam dunia Maia, kejengkangnya kursi dianggap petanda baik.

Wednesday 16 April 2008

Old Gum Tree Safari Park Trackers

~ Mbah MD - Old Gum Tree ~

Pagi itu suasana di Old Gum Tree Safari Park tampak hiruk-pikuk. Bin truck serba guna datang bersama rombongan tim trivia. Mereka adalah orang-orang yang turut meramaikan dan menyumbang trivia. Mereka sedang dalam perjalanan lawatan ke Taman Safari. Konon kabarnya mereka akan merekrut anggota baru dari koloni Pisces sebagai tracker dan sekaligus mendata fauna termasuk ikan yang ada di kolam itu.

Ketika melewati gerbang pintu masuk taman, pas di depan loket, mereka mendapat lambaian tangan dan senyuman nan manis bak Turkish Delight dari seorang ibu-ibu yang pakaian dalam penutup dadanya kelihatan mereknya. Sumpah! Tak ada gulungan uang dibalik BH nya. Dia hanya menerima uang tanda masuk yang sah dan memberikan tiket kepada supir truk sebagai tanda bukti. Meskipun langganan, harga discount tak berlaku. Tak ada anak emas atau anak perunggu, so to speak. Semua dilakukan secara profesional.

Entah apa yang ada dipikiran ibu penjaga loket itu. Mungkin ...hm... mereka itu kan para langganan Taman Safari ini. Bagaimana aku tega mengenyampingkan mereka? Kerja keras mereka yang sampai saat ini masih non-profit patut diberi acungan jempol. Padahal maksudku juga tadinya cuma untuk "lucu-lucu-an".

Tak lama kemudian, setelah mengantri untuk beberapa saat, truk memasuki taman. Abu-abu Merpati sibuk memperhatikan bangku taman. Kemana pemiliknya? begitu pertanyaannya.

"Hoi pemilik bangku taman, pada kemana?" teriak Abu-abu Merpati sambil duduk di sandaran tangan bangku taman.
Hening, tak ada jawaban.

"Kok jadi gini?" sambungnya lagi sambil merapihkan cara duduknya - berusaha menutupi bulu cakar kakinya. Suasana kembali hening, masing-masing penumpang asyik memandang hewan-hewan di Taman Safari itu.

Tak lama kemudian, truk melewati Heron Bank. Heron berbulu abu-abu yang asli dari Jerman ini, secara kasat mata mirip dengan burung Enggang/Hornbill yang suka sama dagelan. Dia pun membuka suaranya:

"Di tepian sungai ini aku melihat penampakkan Vulture", katanya.
"Apa? Bangkai burung?" sambar Abu-abu Merpati.
"Bukan, aku bilang Vulture, burung pemakan bangkai," jawab Enggang, eh Heron.
"Oh, ku kira ... bangkai seekor burung," timpal Abu-abu sedikit kecewa.

Begitu mendengar pembicaraan antara Heron dan Abu-abu, dua pasang Magpie (sepasang bertengger di antena dan sepasang lagi di tembok, tepat di bawah tiang antena) yang sedang dimabuk asmara saling memandang satu sama lain. Dari pandangannya, pasangan yang di antena seolah-olah mengatakan: burung sudah jadi bangkai aja diributin. Kurang kerjaan apa? Sementara pasangan Magpie yang di tembok berguman tak jelas: aduh kasihan sekali ... udah jadi bangkai, udah digasak dan digaruk ama Vulture, mau diapain lagi?

Sesaat kemudian, truk melaju ke lion's den. Singa Putih yang duduk melamun di bangku singgasananya yang terbuat dari batu itu berusaha menelan ludahnya. Kerongkongannya tercekat. Setelah beberapa saat, dia berkata pelan:

"I believe in the daydreamer," jawabnya singkat.
"Apa maksudmu?" tanya tiga sekawan Jerapah serentak.
"Kenapa kamu bisa yakin sekali, Singa Putih?" selidik si Bungsu Jerapah.

"Karena "trust", jawab Singa Putih pendek.
"Aku baru percaya, ternyata bangkai burung itu sudah menjelma menjadi Bangku Taman, yang tak lagi berdarah", jawab Abu-abu Merpati.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tiba-tiba supir truk ikutan nimbrung.
"Sudah, biar nanti anggota tim baru saja yang menangani masalah ini. Kita kumpulkan data dan cantumkan dalam trivia," jelasnya panjang lebar. (Oh my God!)

Akhirnya bis truk pun berhenti di pinggiran kolam. Supir truk disambut oleh Ikan Kuning yang kadang disebut naughty tang. Meskipun sedikit nakal, Ikan Kuning tak diragukan pengetahuan dan praktisi nya dalam dunia IT. Celakanya, meskipun niatnya baik, dia kadang-kadang mengumumkan (secara publik) kelemahan dari sistem pertahanan di kantor pusat. Sehingga memberi peluang untuk orang-orang yang "nakal" beneran untuk mengutak-atik sistem. Heran ... tak mau belajar dari pengalaman. Sudah kejadian baru berkoar, bagaimana dengan tindakan pencegahan?

Singkat cerita, kunjungan dan seleksi anggota tracker di kolam pun membuahkan hasil. Ikan tak bernama di dalam guci menjadi anggota terpilih. Meskipun hidup dalam guci dan tidak mendalami IT secara khusus, ikan anonymous ini ternyata punya otak dagang. Menurut si Ikan, dengan "ongkang-ongkang kaki" di dalam guci pun, tanpa harus melakukan perjalanan jauh keluar-masuk Taman Safari, dia bisa melacak semuanya, tanpa meleset. Kunci nya cuma satu, pakailah mesin tracker yang bayar. Banyak kok, jangan yang gratisan. Bukankah ada yang sifatnya "hidden tracker"? Semua data pengunjung bisa diperoleh sedetil-detilnya dengan tingkat akurasi yang tinggi. Bisa dibedakan mana yang repeat visitor dengan unique visitor. Sehingga tak perlu lagi diedarkan questionare yang jawabannya sungguh-sungguh "lucu". Lucu dalam arti melenceng dikit dengan data "statistik" yang sudah diperolah sebelumnya - padahal maksudnya mungkin untuk melengkapi dan mempertegas data dari si Google.

Ikan anonymous tersenyum simpul dari dalam sarangnya. Statistics is like arts, it subjects to (different) interpretations. Kalau ada yang mau membeli statistik ini, kenapa tidak?

There are three kinds of lies: lies, damned lies and statistics ~ Benjamin Disraeli ~

Three Wise Leaves

~ Mbah MD - Old Gum Tree ~

A reddish brown leaf
Still attached to the tree
The long harsh rain
Wet the old dry leaf
Moisten it

With the help of the rising sun
A transparent colour revealed
Showing its veins - alive
New leaves waiting to sprout

Dried leaves
One is older than the other
Rain drops scattered on the younger one
No longer absorbs any water
Wishing to share the moist to the older one
Failed, however
They both thank the tree who gives them shade
They both thank the grass who holds them safely

Fallen leaf on the asphalt road
Hurt
Old branch
Nailed through its vein
Hurt

(The three wise leaves have given wisdom to the tree.
It is up to the tree to continue its journey.)